Search

Tuesday, May 24, 2011

Tetangga Sebelah

FACEBOOK

Ada dua feature yang paling sering dikomplen oleh para pemilik akun di FB; yakni ngetag foto dan memasukkan orang ke dalam sebuah grup tanpa minta ijin si pemilik akun terlebih dahulu.

Ngetag foto

Alasan utama aku mendua hati dari MP ke FB di pertengahan tahun 2009 dulu memang karena tak mau ketinggalan foto-foto kegiatan teman-teman b2w Semarang. Teman-teman yang banyak menganggap MP ga begitu user-friendly, dan kebetulan FB sedang amat sangat booming waktu itu, berbondong-bondong pindah ke FB. (Padahal ga banyak deh ) Dikarenakan aku selalu gaptek masalah fotografi – dengan alasan utama lebih suka difoto daripada memoto – dalam setiap kegiatan bersama teman-teman b2w Semarang, aku tidak pernah membawa kamera. (Kamera siapa juga yang akan dibawa? ) Nah, agar aku ga ketinggalan foto-foto itu, aku sempat sangat bersuka cita dengan feature ngetag foto ini di FB. Dengan feature ngetag ini, tiba-tiba foto-foto itu akan muncul di wall-ku. (Sedangkan kalau di empe, kita harus rajin nyambangi akun teman-teman yang mungkin posting foto-foto kegiatan.

gambar kuambil dari sini

Namun mendadak aku merasa jengah tatkala seorang rekan ngetag aku (dan banyak teman lain juga) foto-foto narsisnya; sedang main di toko sepeda, sedang bergaya naik sepeda, sedang ini sedang itu, sedang itu sedang ini. Masih mending kalau ada aku di foto-foto itu. Atau paling tidak fotonya bukan foto yang lagi bergaya sendirian namun ramai-ramai dengan teman-teman lain.

Demi tidak kentara terganggu kehadiran foto-foto pribadi seseorang muncul di wall-ku, diam-diam aku remove tag itu. Ga pake komplen langsung ke yang bersangkutan.

Masuk grup

Aku lupa tepatnya kapan tiba-tiba FB memungkinkan siapa pun memasukkan seseorang ke sebuah grup, tanpa perlu minta izin ke yang bersangkutan.

Meski sempat merasa jengah di awal-awal (terutama sebuah grup yang begitu saja mendudukkan aku sebagai salah satu admin grup dan sempat mendapatkan bejibun inbox yang memintaku memasukkan mereka yang kirim email untuk dimasukkan ke dalam grup) aku lebih memilih diam. Bukan karena pasrah, namun karena lebih ke ignorance aja. Walhasil, sekarang aku terhitung menjadi anggota lebih dari 10 grup di FB. Di antara sekian banyak grup, so far hanya di dua grup aku lumayan aktif berinteraksi: grup b2w Semarang dan grup Komselis (komunitas sepeda lipat Semarang) yang notabene merupakan ‘anak’ dari b2w Semarang.

FYI, meski FB memungkinkan siapa pun memasukkan orang lain ke sebuah grup tanpa izin, FB juga menyediakan fitur yang memungkinkan siapa pun ‘leave’ the group diam-diam. Jika memang tidak suka, ya siapa pun bisa leave the group yang tidak mereka sukai. Ada juga orang yang ‘berkoar-koar’ dulu dengan sopan bahwa mereka tidak suka dimasukkan ke grup begitu saja, maka mereka pun pamit untuk meninggalkan grup. Ada beberapa alasan yang selama ini dikemukakan. Pertama, karena merasa tidak ‘sejalan’ dengan visi dan misi grup tersebut. Kedua, karena tidak memiliki waktu luang yang lebih untuk ikut berinteraksi dengan aktif dengan member grup yang lain.

Seperti dalam kejadian ‘ngetag foto’, di awal aku juga tidak pernah komplen dimasukkan grup mana saja.  Kebetulan belum ada grup yang bagiku memiliki visi dan misi yang benar-benar bertolakbelakang dengan cara berpikirku. Aku juga belum pernah leave the group diam-diam, meski aku juga lebih sering tidak memperhatikan apa-apa yang dipost di grup. :-P

So far, grup-grup itu bisa kubagi menjadi empat kategori:
•    Sepeda: b2w Semarang, Komselis
•    Spiritual: spiritual Indonesia, diskusi spiritual, dll
•    Nasionalis; Semangat Indonesia, GregetNuswantara, dll
•    Sastra: Damselfly’s lament, Rumah Kata, Aliansi Penyair Timur, dll

Beberapa minggu lalu tiba-tiba aku dimasukkan ke sebuah grup oleh seseorang yang sangat jarang berinteraksi denganku di FB. (Read => aku dimasukkan ke grup-grup yang lain oleh seseorang yang ‘biasanya’ mengenalku karena interaksi yang lumayan sering di FB). Ketika aku periksa, aku sempat bingung karena grup satu ini tidak masuk satu pun kategori yang kuklasifikasikan di atas. Namun aku perhatikan most members adalah perempuan. Aku tidak kenal satu pun anggota kecuali seseorang yang memasukkan aku ke grup itu. “It was fine lah,” pikirku.

Time went by.

Hingga akhirnya aku ‘ngeh’ grup apa itu.  Si ‘pendiri’ grup mengaku sebagai seorang single parent. Dia berharap interaksi antar single parent bisa menjelma sebagai sebuah ‘bond’ dimana kemudian (mungkin) akan meningkat menjadi ‘sorority’ grup. It is sweet, isn’t it?

Namun ternyata tidak banyak member yang aktif posting sesuatu di situ: ngewall kek atau posting tulisan. Maka, ya begitulah, tidak ada yang kemudian menambah kenalan sesama single parent (aku menemukan di kemudian hari ternyata tidak semua member adalah single parent) di dalam grup.

Mungkin untuk menghidupkan grup, akhirnya si pendiri posting tulisan-tulisan yang bukan tulisannya sendiri, namun ditulis oleh salah satu member yang nampaknya karena gaptek, tidak tahu bagaimana cara posting tulisan.  Dari beberapa tulisan yang ada aku mencium gelagat mempergunakan sudut pandang policy ‘divide et impera’ antar perempuan: menjelek-jelekkan perempuan tertentu untuk kemudian memuja-muja perempuan lain. Kultur patriarki banget dah.

Itu sebab dengan tujuan menyebarkan semangat kesetaraan dan kesadaran diri apa itu makna sebagai seorang perempuan, aku posting beberapa tulisanku yang sangat kental nuansa pendidikannya – pendidikan tentang kesetaraan dan bahwa sesama perempuan harus saling asah, asih, asuh. Beberapa tulisan yang kupost di grup itu yakni “Kesetaraan Jender”, “Perempuan Sejati”, “Perempuan versus Perempuan”, “Perempuan oh Perempuan,” hingga yang paling terakhir “Sang Pendobrak versus Sang Penurut”.

Di semua tulisan yang kupost, aku menekankan bahwa pilihan dalam hidup ini ada di tangan perempuan, bukan bertumpu pada pandangan masyarakat dimana kultur patriarki di sini masih sangat kental. Seorang perempuan akan tetap menyandang ‘label’ sebagai perempuan sejati, tanpa pandang langkah apa yang dia pilih dalam hidup ini: be a full housewife? Be a career woman? Be married or single?

Aku sadar kemungkinan tulisan-tulisan yang kumaksudkan untuk pencerahan itu dicuekin member grup yang lain. Tak satu pun tergerak untuk membacanya. Atau mungkin membaca, namun tak sampai membuka cara pandang mereka bahwa yang penting dalam hidup ini adalah menghormati pilihan orang lain. Respect others, dengan harapan akan ada timbal baliknya: other people will respect us.

But at least, I have tried my best. What else can I do to open up people’s way of thinking?
Itu sebab aku menjadi sangat patah hati ketika menemukan tulisan yang jelas-jelas ditulis dengan semangat devide et impera. Kisah fiksi yang menggambarkan seorang perempuan yang menggoda seorang laki-laki mapan; sang lelaki dikisahkan tak mempan digoda karena dia memiliki seorang istri yang salihah. Tulisan yang sudah ada beberapa minggu di grup namun dengan sengaja kuhindari karena tentu akan membuat tanganku gatal untuk menulis komen.

But you can guess akhirnya aku pun tak kuasa menahan diri untuk tidak menulis komen. “What’s the point of making this group? To empower women? Because this post shows on the contrary.” Bla bla bla ...

I am no longer a patient ‘educator’ anyway. Sudah terlampau lelah jika harus menghadapi seseorang yang memuja status quo atas kultur patriarki. Si pendiri grup yang mengaku sebagai seorang single parent; yang mengaku perceraiannya disebabkan perempuan lain yang hadir antara dia dan mantan suaminya, namun juga mengaku bahwa perceraian itu tidak melulu salah si perempuan lain dan suaminya yang tergoda; dia mengaku dia juga ambil andil kesalahan.

I am no longer a determined debater. Terlalu malas berhadapan dengan orang-orang yang tak mau membuka cakrawala cara pandang mereka untuk melebihi illusi yang ada di mata mereka. Dan aku telah menjelma sebagai an annoying intellectual snob. Karena kalau kuteruskan diskusi itu, lama-lama hanya akan menjadi debat kusir tanpa manfaat.

So I decided to quit.

(Sudah sangat lelah ngurusi debat kusir di blogku di tahun-tahun 2006-2008 tentang gender, perempuan dan spiritualitas.)

Aku tidak pernah berniat masuk ke grup mana pun di FB. Maka kuputuskan to leave that particular group. I also removed that online buddy agar hidupnya peaceful. Hidupku juga damai.

I realize perjuangan tentang kesetaraan jender ini masih butuh waktu lama. But males bangetlah kalau harus ngurusin orang satu per satu. Masih mending kalau she is one very close friend of mine.



But anyway, aku tetap suka fesbuking lah, selain ngempi di lapak yang sempat gonjang-ganjing antar blogger dan online seller. Hihihi ...

PT56 21.11 220511

No comments: